WAKTU BERSAMA DINDA [2]
Setelah aku berganti pakaian, segera dinda mengajakku untuk
berangkat. Dan aku pun berjalan kaki terlebih dahulu. Sedangkan dinda berada di
belakangku, dia memanggilku.
“hei tama, kok jalan kaki sih. Buang-buang waktu kalau gini.
Terus pas sampai sana udah malem” ucapnya sambil meringis.
Aku pun berbalik mendekatinya dengan menggaruk-garuk
kepalaku.
“terus? Kalau enggak jalan kaki, mau naik apaan din?”. Celetukku.
“itu !”. tunjuk dinda ke sepeda tua yang sering aku pakai
berangkat sekolah dan berboncengan bersama dinda. Sepeda itu peninggalan
almarhum ayahku, sebuah benda yang memiliki nilai historis bagiku.
“Hmmmhh... kalau pakai itu, yang capek Cuma aku sendiri. Kamunya
sih duduk-duduk aja”. Balasku ke dinda sambil menoleh ke sepeda.
“huuu, yaudah gantian deh yang ngayuh sepedanya tam..”. jawab
dinda membujukku dan memberi penawaran dengan muka memelas.
“hahahahaha, bercanda nona manja. Ayo gak usah lama-lama
lagi, ambilin tuh sepeda bawa sini din”. Aku tertawa kencang, kegelian melihat
ekspresi dinda yang tidak pernah aku lihat sebelumnya, sambil menyuruhnya untuk
membawakan sepeda.
“ih dasar cowok !”. gerutu si dinda.
Aku berpamitan dengan ibuku dan aku pun beranjak mengayuh
sepedaku dan pergi. Ditengah perjalanan kami sangat suka mengiringinya dengan
bernyanyi. Iya, asal ada salah satu dari kami yang menyanyi, entah aku ataupun
dinda pasti melanjutkan liriknya. Mungkin kebersamaan ini yang sering
dicemburukan oleh teman-temanku. Bahkan sampai-sampai ada yang mengira kalau
aku dan dinda itu sepasang kekasih. Aku hanya tertawa didalam hati dan berkata ‘ya,
semoga saja’.
Ketika kami melewati masjid, banyak anak-anak TPA yang
menyoraki kami. Terdengar suara tawa dinda yang mungkin seakan malu-malu atau
entahlah, itu yang merasakan dinda. Suara tawa dinda itu membuatku tersenyum
sendiri. tidak tahu kenapa, renyah rasanya ditelinga, benar-benar tawa yang
khas.
Tak terasa, aku dan dinda sudah sampai di taman kota. Disana
banyak pedagang-pedagang dari makanan yang ringan sampai makanan besar pun ada
disini. Kalau pagi dan sore , tempat itu jadi tempat favorit untuk orang-orang
berolahraga. Sambil menikmati keramaian disana, tak sadar akupun kehilangan
dinda yang tadinya berjalan disampingku. Bergegas aku memarkirkan sepeda di
masjid dekat taman. Dan aku mendapati dinda yang sudah tidak terkontrol lagi,
tangannya penuh dengan makanan ini itu. Dinda pun melihatku dan memberiku
lambaian untuk menghampirinya. Seperti biasa, kami memesan makanan. Makanan yang
kami pesan adalah bakso, dia sangat menyukai makanan yang satu ini, bahkan
muncul berita yang aneh-aneh tentang ini itu pada bakso, dinda pun tidak
memperdulikannya. Begitu juga aku, aku juga menyukai bakso, sangat menyukainya.
Tapi berbeda halnya aku dengan dinda, mungkin aku sangat
menyukai bakso dan hampir mungkin satu kali seminggu aku belum tentu bisa
menyantapnya sehabis pulang sekolah. tidak seperti dinda, dia kapanpun bisa
menyantapnya, untuk hal ini dia tidak menyantapnya setiap saat, karena dinda
selalu nebeng bersamaku. Entah kenapa, kalau dengan dinda aku pun rela
memberikan beberapa baksoku dimangkukku ke dalam mangkuk dinda. Pernah dia
bertanya dengan heran “loh tam, kok dikasihin aku semua sih. Kan kamu suka juga
makan bakso?”. Dan akupun menjawab apa adanya “ah enggak kok, kamu kayaknya
lebih menyukainya daripada aku hehe”. “mhihihi”. Tawa dinda sambil melanjutkan
makan.
BACA SELANJUTNYA