Storefront of World

Berbagi berbagai macam informasi dan cerita-cerita menarik yang berada di etalase dunia.

Friday, 15 August 2014

Karena Waktu..


Waktu Bersama Dinda
Waktu berjalan perlahan, mungkin itu istilah waktu bagi orang-orang yang tidak mampu memanfaatkan waktu lebih optimal. Tetapi, ada kalanya ketika kita menyadari bahwa waktu yang cepat itu baik dan ada kalanya juga itu sesuatu hal yang buruk dan sebaliknya.

Aku tidak tahu awal mula terjadinya perhitungan masa ke-masa itu bagaimana, hingga diistilahkan dengan kata ‘Waktu’. Bahkan, orang yang telah menggapai mimpi-mimpinya pun, berkata ‘hargailah waktu’. Apakah waktu itu perpindahan detik ke menit, lalu dari menit ke-jam, Bahkan Tahun?. Ya, mungkin itu ada benarnya juga, itu benar dalam konteks  formal istilah waktu itu sendiri. Biarlah  seiring bertambahnya usiaku ini, kelak aku akan mengerti apa sebenarnya ‘waktu’.
“Hayo lagi ngapain kamu tam, nulis surat cinta buat cewek kamu ya ?”. Terdengar suara yang tidak asing, suara yang  riang nan lembut tapi mengacaukan ketenangan pikirku mengenai ‘waktu’. Ya, dia bernama Dinda, lengkapnya Adinda  Sukma Melati
“eh, kamu sejak kapan ada disini ?. Masuk kamar orang kok gak ketuk pintu dulu”. Balasku dengan terkejut sambil menutup buku catatanku. Ohiya, nama saya Tama, Abimanyu Pratama.
“hah ?! hahahaha.. sejak kapan kamarmu ada pintunya tam ?”. Dinda tertawa terbahak-bahak sambil menepuk-nepuk pundakku dan setelah itu mengacak-acak rambutku.
“ohiya hahahaha, kapan-kapan din. Kebiasaan kamu ya selalu merusak style rambut kerenku ini”. Aku pun tertawa mengingat kegelianku mengatakan kata-kata itu dan merasa jengkel akibat ulahnya mengacak-acak rambutku.
“aamiin, hahahaha. Eh main yuk tam, bosen nih di rumah mulu”.
“mau main kemana sih, biasanya kalau kamu bosen main sendiri ketaman kota”. Jawabku asal-asalan
“nah, itu kamu tahu tujuannya. Udah, cepetan keburu malem”. Dia memaksaku untuk segera bergegas.
“iya-iya, sebentar aku ganti baju yang pantas dulu. Masa aku pakai baju compang-camping gini hahaha”. Ujarku.
“hahahaha, kalau gitu aku mau bantuin ibu kamu, kelihatannya lagi sibuk”. Jawab dinda sambil berjalan keluar dari kamar.
Dinda itu seorang gadis periang yang kadang terasa menjengkelkan. Banyak orang, bahkan teman-temanku mengatakan kalau dia itu cantik, chubby dan ramah. Tapi buat aku, dinda itu biasa saja. Mungkin itu karena aku selalu bertemu dengannya, bahkan berangkat sekolah pun kami selalu bersama-sama.  Tetapi, ada beberapa hal dari dinda yang lolos dari pandangan semua orang, bahkan temanku tidak ada yang menyadari momentum itu, itu adalah senyumannya. Dia memiliki sebuah senyuman yang sejuk bahkan ketika aku mengingat sebuah senyumannya, terkadang aku merasakan hal yang tak biasa. Senyuman itu, terpampang dikesehariannya yang selalu riang.
Aku terkadang menerka-nerka, kalau aku ingin menjadi masa depannya. Tapi niat itu aku buang jauh-jauh, mana pantas seorang anak yang tidak berada memberanikan diri untuk meminang seorang dinda yang anak orang yang ternama, bahkan kedua kakaknya sudah bisa dibilang sukses. boro-boro menikahi dia, diberi restu sama orang tuanya saja belum tentu. Kalau restu kemungkinan itu ada, dikarenakan hubungan baik antara almarhum ayahku dengan ayah dinda itu berkerabat sejak mereka SMP, hingga sekarang tali persaudaraan masih terjaga. Bahkan semakin erat. Toh, kalau benar menikah, mau dikasih makan apa nanti.  Sedangkan aku, harus ikut memikul tulang punggung keluarga ini. Dengan dua adik kembar yang sekarang duduk di bangku SMP. Ya, mungkin Tuhan memberikan aku keluarga yang hebat dan kuat, kedua adikku tidak pernah bermasalah dengan pembayaran sekolah, karena mereka cukup berprestasi dalam akademik oleh karena itu mereka mendapat kesempatan untuk menerima beasiswa sampai tamat SMA. Begitu juga denganku, bisa meneruskan ke jenjang SMA ini dengan beasiswa. Betapa bersyukurnya aku, tidak hanya aku saja, ibuku bahkan ayahku yang sudah ada di surga pun ikut bersyukur.
“Dinda, Dinnnnn.. kamu dimana sih, tadi suruh cepat-cepat ??”. panggilku di teras rumahku, sambil memasukkan kancing pada bajuku.
“iya, sebentar tam, ini juga lagi cuci tangan..!”. teriaknya dari belakang rumahku.
Tak lama kemudia dia menemuiku dengan menahan tawa.
“kamu ngapain din, ayo kalau mau ke taman kota”. Ajakku.
“hahahahahahahaha, gila gila gila, emang harus ya? Cuma ke taman kota pakai pakaian serapi itu, pakai kemeja segala hahaha, ganti aja tam. Casual aja”. Ledek dinda.
Karena menahan jengkel dan malu membuatku campur aduk, lalu bergegaslah aku mengganti pakaian.
BACA SELANJUTNYA

No comments:

Post a Comment