Waktu
Bersama Dinda
Waktu berjalan
perlahan, mungkin itu istilah waktu bagi orang-orang yang tidak mampu
memanfaatkan waktu lebih optimal. Tetapi, ada kalanya ketika kita menyadari
bahwa waktu yang cepat itu baik dan ada kalanya juga itu sesuatu hal yang buruk
dan sebaliknya.
Aku tidak tahu
awal mula terjadinya perhitungan masa ke-masa itu bagaimana, hingga
diistilahkan dengan kata ‘Waktu’. Bahkan, orang yang telah menggapai
mimpi-mimpinya pun, berkata ‘hargailah waktu’. Apakah waktu itu perpindahan
detik ke menit, lalu dari menit ke-jam, Bahkan Tahun?. Ya, mungkin itu ada
benarnya juga, itu benar dalam konteks formal istilah waktu itu sendiri.
Biarlah seiring bertambahnya usiaku ini, kelak aku akan mengerti apa
sebenarnya ‘waktu’.
“Hayo lagi
ngapain kamu tam, nulis surat cinta buat cewek kamu ya ?”. Terdengar suara yang
tidak asing, suara yang riang nan lembut tapi mengacaukan ketenangan pikirku
mengenai ‘waktu’. Ya, dia bernama Dinda, lengkapnya Adinda Sukma Melati
“eh, kamu sejak
kapan ada disini ?. Masuk kamar orang kok gak ketuk pintu dulu”. Balasku dengan
terkejut sambil menutup buku catatanku. Ohiya, nama saya Tama, Abimanyu
Pratama.
“hah ?!
hahahaha.. sejak kapan kamarmu ada pintunya tam ?”. Dinda tertawa
terbahak-bahak sambil menepuk-nepuk pundakku dan setelah itu mengacak-acak
rambutku.
“ohiya
hahahaha, kapan-kapan din. Kebiasaan kamu ya selalu merusak style rambut
kerenku ini”. Aku pun tertawa mengingat kegelianku mengatakan kata-kata itu dan
merasa jengkel akibat ulahnya mengacak-acak rambutku.
“aamiin,
hahahaha. Eh main yuk tam, bosen nih di rumah mulu”.
“mau main kemana sih, biasanya
kalau kamu bosen main sendiri ketaman kota”. Jawabku asal-asalan
“nah, itu kamu
tahu tujuannya. Udah, cepetan keburu malem”. Dia memaksaku untuk segera
bergegas.
“iya-iya,
sebentar aku ganti baju yang pantas dulu. Masa aku pakai baju compang-camping
gini hahaha”. Ujarku.
“hahahaha,
kalau gitu aku mau bantuin ibu kamu, kelihatannya lagi sibuk”. Jawab dinda
sambil berjalan keluar dari kamar.
Dinda itu seorang
gadis periang yang kadang terasa menjengkelkan. Banyak orang, bahkan
teman-temanku mengatakan kalau dia itu cantik, chubby dan ramah. Tapi buat aku,
dinda itu biasa saja. Mungkin itu karena aku selalu bertemu dengannya, bahkan
berangkat sekolah pun kami selalu bersama-sama. Tetapi, ada beberapa hal dari
dinda yang lolos dari pandangan semua orang, bahkan temanku tidak ada yang
menyadari momentum itu, itu adalah senyumannya. Dia memiliki sebuah senyuman
yang sejuk bahkan ketika aku mengingat sebuah senyumannya, terkadang aku
merasakan hal yang tak biasa. Senyuman itu, terpampang dikesehariannya yang
selalu riang.
Aku terkadang
menerka-nerka, kalau aku ingin menjadi masa depannya. Tapi niat itu aku buang
jauh-jauh, mana pantas seorang anak yang tidak berada memberanikan diri untuk
meminang seorang dinda yang anak orang yang ternama, bahkan kedua kakaknya
sudah bisa dibilang sukses. boro-boro menikahi dia, diberi restu sama orang
tuanya saja belum tentu. Kalau restu kemungkinan itu ada, dikarenakan hubungan
baik antara almarhum ayahku dengan ayah dinda itu berkerabat sejak mereka SMP,
hingga sekarang tali persaudaraan masih terjaga. Bahkan semakin erat. Toh,
kalau benar menikah, mau dikasih makan apa nanti. Sedangkan aku, harus ikut
memikul tulang punggung keluarga ini. Dengan dua adik kembar yang sekarang
duduk di bangku SMP. Ya, mungkin Tuhan memberikan aku keluarga yang hebat dan
kuat, kedua adikku tidak pernah bermasalah dengan pembayaran sekolah, karena
mereka cukup berprestasi dalam akademik oleh karena itu mereka mendapat
kesempatan untuk menerima beasiswa sampai tamat SMA. Begitu juga denganku, bisa
meneruskan ke jenjang SMA ini dengan beasiswa. Betapa bersyukurnya aku, tidak
hanya aku saja, ibuku bahkan ayahku yang sudah ada di surga pun ikut bersyukur.
“Dinda,
Dinnnnn.. kamu dimana sih, tadi suruh cepat-cepat ??”. panggilku di teras
rumahku, sambil memasukkan kancing pada bajuku.
“iya, sebentar
tam, ini juga lagi cuci tangan..!”. teriaknya dari belakang rumahku.
Tak lama kemudia dia menemuiku
dengan menahan tawa.
“kamu ngapain
din, ayo kalau mau ke taman kota”. Ajakku.
“hahahahahahahaha,
gila gila gila, emang harus ya? Cuma ke taman kota pakai pakaian serapi itu,
pakai kemeja segala hahaha, ganti aja tam. Casual aja”. Ledek dinda.
Karena menahan
jengkel dan malu membuatku campur aduk, lalu bergegaslah aku mengganti pakaian.
BACA SELANJUTNYA
No comments:
Post a Comment