Setelah kita makan bakso, kita pun
berjalan-jalan sebentar. Ngobrol kesana-kemari berbicara tentang apa saja. Lalu
dinda pun duduk dikursi yang berada di bawah pohon, dimana menyuguhkan
pemandangan orang-orang jogging, bersepeda dan bias cahaya orange matahari
senja yang cahayanya menembus pepohonan di tempat itu.
Dinda tampak memandang lurus
dengan tatapan kosong, entah apa yang dia pikirkan.
Akupun merasa aneh saja, lalu ku
beranikan untuk memecahkan lamunan dinda dengan sebuah tanya. “din, kamu kenapa
sih? Biasanya gak kayak gini ? ada masalah apa?”.
“hah? Masa sih tam?, aku enggak
apa-apa kok”. Sangkal dinda.
“hahaha, itu alesan kamu aja.
Kalau cewek ngeluarin kalimat ‘aku enggak apa-apa’ itu biasanya ada apa-apanya,
udah terus terang aja deh din daripada dipendem-pendem. Nanti bisa jadi bom
waktu didalam diri kamu sendiri”. Aku mencoba untuk membuat dinda berterus
terang.
“dihhh sok tau banget sih kamu tam
hahaha. Eh kok kamu malah kepo banget sih atau jangan-jangan ini cara kamu
ngungkapin kalo kamu suka sama aku ya lewat kekepoanmu ini ahahahahaha, cie”.
Balas dinda dengan candaan khasnya kalau aku menyukainya.
Aku pun tiba-tiba speechless
mendengar ucapan dinda yang membuatku berdebar disamping itu aku merasakan
kalau pipiku terasa terbakar.
“ah sudahlah din, jawabanmu
ngelantur deh itu”. Elakku
“ahahahaha”. Tawa dinda cekikian. Dan
aku pun ikut tertawa. Beberapa menit kemudian kami menghening. Mata kami sibuk
memandang objek yang berbeda. Aku memeperhatikan daun-daun yang berguguran
terbawa angin senja. Sedangkan dinda masih termenung sambil kedua tangannya
menyangga kepalanya.
Sejenak keheningan ini
mengingatkanku pada sebuah pemikiranku tentang ‘waktu’ yang telah dibuyarkan
oleh dinda tadi. Aku pun menatap jauh ke langit senja yang perlahan merubah
warnanya menjadi merah dan membawaku pada sebuah lamunan.
No comments:
Post a Comment